Oleh: Gita Ruslita
IMBCNews- Fenomena buzzer politik yang berkembang pesat di era digital saat ini, menciptakan tantangan besar dalam memahami bagaimana kekuasaan dan ideologi dapat dipertahankan dan diperkuat melalui media sosial. Melalui teknologi yang memungkinkan siapapun untuk berpartisipasi dalam penyebaran informasi, buzzer politik telah menjadi kekuatan yang tidak bisa diabaikan dalam membentuk opini publik.
Buzzer politik, sering kali digunakan oleh kelompok penguasa untuk memengaruhi persepsi masyarakat, memiliki peran penting dalam memanipulasi narasi politik dan membangun konsensus sosial yang mendukung kepentingan elit tertentu, khususnya penguasa atau status quo. Mereka berfungsi sebagai alat dalam strategi komunikasi untuk mengarahkan opini publik sesuai dengan keinginan dan kepentingan politik tertentu, sehingga menciptakan narasi yang menguntungkan mereka.
Ditinjau dari perspektif Karl Marx, fenomena buzzer politik dipandang sebagai bagian dari cara kelas penguasa menggunakan media untuk mempertahankan dominasi dan kekuasaannya dalam masyarakat. Marx menekankan bahwa media memiliki peran penting dalam menciptakan dan mempertahankan “kesadaran palsu” di kalangan masyarakat, yaitu pemahaman yang salah tentang keadaan sosial, ekonomi, dan politik yang menguntungkan kelas penguasa.
Dalam hal ini, buzzer politik berfungsi untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari isu-isu struktural yang lebih besar, seperti ketidaksetaraan sosial dan ekonomi, dengan menggiring masyarakat untuk fokus pada isu-isu yang memperkuat kepentingan elit politik. Melalui narasi yang diciptakan, buzzer politik dapat memperkuat struktur kekuasaan yang ada dan mencegah munculnya perlawanan terhadap ketidakadilan sosial yang ada.
Berdasarkan perspektif Antonio Gramsci, buzzer politik berperan dalam memperkuat hegemoni kelas penguasa di ruang publik, khususnya di media sosial. Hegemoni, menurut Gramsci, adalah dominasi yang dilakukan bukan hanya melalui kekerasan atau paksaan, tetapi melalui pengaruh ideologi dan budaya yang diterima oleh masyarakat sebagai hal yang “normal” atau “alami”.
Buzzer politik, dalam konteks ini, berfungsi untuk membentuk pandangan dunia masyarakat, dengan menyebarkan ideologi yang mendukung status quo. Mereka tidak hanya membentuk opini politik, tetapi juga mempengaruhi nilai, keyakinan, dan simbol-simbol sosial yang digunakan untuk memperkuat dominasi politik dan ekonomi.
Dengan menggunakan teknik seperti framing, seleksi informasi, dan manipulasi opini, buzzer politik membantu menciptakan konsensus sosial yang memungkinkan kelompok penguasa untuk tetap mempertahankan kontrol tanpa perlu menggunakan kekerasan secara langsung.
Kedua teori ini dari Marx dan Gramsci ini dapat memberikan kerangka yang sangat berguna untuk menganalisis bagaimana buzzer politik beroperasi dalam dunia digital saat ini. Marx menawarkan perspektif tentang bagaimana media digunakan untuk mempertahankan dominasi kelas penguasa melalui penyebaran ideologi yang menyesatkan, sedangkan Gramsci menjelaskan bagaimana buzzer politik memperkuat hegemoni dengan memanipulasi budaya dan ideologi di ruang publik.
Bersama-sama, kedua pemikiran ini membantu kita memahami peran buzzer politik sebagai alat yang digunakan oleh kelas penguasa untuk mempertahankan kontrol dan dominasi mereka dalam masyarakat, serta mengapa fenomena ini begitu efektif dalam membentuk opini publik di era digital.
Pemikiran Karl Marx: Media sebagai Alat Ideologi
Pemikiran Karl Marx tentang peran media dalam mempertahankan dominasi kelas kapitalis sangat relevan untuk menganalisis fenomena buzzer politik dalam konteks media sosial saat ini. Menurut Marx, media bukan hanya sekadar alat untuk menyampaikan informasi, tetapi juga merupakan sarana untuk menyebarkan ideologi yang mendukung kepentingan kelas penguasa. Dalam hal ini, kelas kapitalis yang memiliki kontrol atas alat-alat produksi dan distribusi informasi.
Marx menekankan bahwa ideologi yang dominan dalam masyarakat adalah ideologi yang diproduksi oleh kelas penguasa dan disebarkan melalui media, yang mengarah pada terciptanya “kesadaran palsu” (false consciousness) di kalangan kelas bawah. Kesadaran palsu ini mengacu pada pemahaman yang salah tentang keadaan sosial dan ekonomi, di mana masyarakat, terutama kelas proletariat yang percaya bahwa struktur sosial yang ada adalah hal yang alami dan tidak dapat diubah.
Padahal, struktur tersebut sejatinya lebih menguntungkan kelas kapitalis dan mempertahankan ketidaksetaraan sosial dan ekonomi. Media berperan penting dalam menciptakan kesadaran palsu ini dengan menyajikan narasi yang mendukung status quo, meminggirkan isu-isu yang berpotensi mengancam kekuasaan kelas penguasa.
Dalam konteks buzzer politik, fenomena ini dapat dipahami sebagai agen yang digunakan oleh kelompok penguasa, baik itu negara, politisi, partai politik, atau kelompok ekonomi, untuk mengarahkan opini publik. Para buzzer berfungsi untuk menciptakan narasi yang mendukung kepentingan elit politik dan ekonomi dengan cara mengalihkan perhatian masyarakat dari masalah-masalah struktural seperti ketidaksetaraan sosial, kemiskinan, dan eksploitasi ekonomi.
Sebagai contoh, buzzer politik bisa saja menyoroti isu-isu yang lebih dangkal atau kontroversial yang dapat menarik perhatian, sementara pada saat yang sama mengalihkan perhatian dari kebijakan atau praktik yang lebih merugikan bagi masyarakat luas. Dengan menggunakan media sosial sebagai platform untuk menyebarkan pesan-pesan ini, buzzer politik mampu menciptakan efek yang lebih cepat dan lebih luas.
Mereka memanfaatkan algoritma media sosial untuk memastikan bahwa narasi mereka mencapai audiens yang lebih besar dan lebih mudah dipengaruhi, dengan mengoptimalkan teknik-teknik seperti framing, seleksi informasi, dan pembuatan opini yang terstruktur. Buzzer politik menjadi alat yang efektif untuk mempertahankan dominasi kelas penguasa dengan cara membentuk opini publik sesuai dengan kepentingan elit yang berkuasa.
Marx mengingatkan bahwa media memiliki peran sentral dalam menciptakan kesadaran palsu, yang memungkinkan kelas penguasa mempertahankan kontrol sosial dan politik mereka tanpa harus menggunakan kekerasan langsung.
Buzzer politik berfungsi sebagai instrumen yang lebih halus namun efektif dalam menyebarkan ideologi yang mendukung kepentingan penguasa, memperkuat dominasi mereka, dan mencegah terjadinya perubahan sosial yang dapat mengancam kekuasaan tersebut.
Dengan demikian, dalam perspektif Marx, buzzer politik merupakan alat penting dalam mempertahankan struktur kelas yang ada, serta mengalihkan perhatian publik dari isu-isu yang berpotensi mengancam status quo sosial dan politik.
Pemikiran Antonio Gramsci: Hegemoni dan Perang Budaya
Pemikiran Antonio Gramsci tentang hegemoni dan perang budaya memberikan wawasan yang sangat relevan untuk menganalisis fenomena buzzer politik di era media sosial. Gramsci berpendapat bahwa dominasi kelas penguasa tidak hanya dicapai melalui kekuatan politik dan ekonomi, tetapi juga melalui dominasi budaya dan ideologi yang diterima oleh masyarakat sebagai sesuatu yang “alami” atau “benar”.
Hegemoni ini, menurut Gramsci, lebih subtil dan bergantung pada konsensus yang tercipta di antara kelompok-kelompok sosial, di mana ideologi kelas penguasa dianggap sebagai norma yang tidak dapat dipertanyakan. Dalam konteks ini, hegemoni bukan hanya soal mengontrol kekuasaan politik, tetapi juga mengarahkan bagaimana masyarakat memandang dunia dan apa yang mereka anggap sebagai kebenaran serta norma sosial yang berlaku.
Dalam kerangka pemikiran Gramsci, buzzer politik berfungsi sebagai instrumen penting dalam membentuk wacana publik yang menguntungkan kelas penguasa. Buzzer politik tidak hanya memengaruhi opini politik, tetapi juga berperan dalam membentuk nilai-nilai dan budaya yang mendukung ideologi dominan.
Melalui media sosial, buzzer dapat memanipulasi cara masyarakat memahami isu-isu tertentu, seperti kebijakan pemerintah, pemilu, atau tokoh politik tertentu. Dengan membingkai narasi yang mendukung kebijakan atau kepentingan tertentu, buzzer politik membantu menciptakan konsensus sosial yang memperkuat kekuasaan yang ada, sekaligus mengalihkan perhatian dari isu-isu kritis yang mungkin mengancam struktur kekuasaan yang ada.
Gramsci menekankan bahwa hegemoni dicapai melalui “perang budaya”, yaitu perjuangan ideologis yang berlangsung dalam ruang publik. Di dunia digital, perang budaya ini dijalankan melalui teknik-teknik komunikasi yang canggih untuk membentuk opini publik.
Buzzer politik berperan dalam perang budaya ini dengan memanfaatkan berbagai strategi, termasuk framing, untuk membingkai isu-isu tertentu dalam cara yang menguntungkan penguasa. Misalnya, buzzer dapat memilih narasi yang memuji kebijakan pemerintah atau tokoh politik tertentu, sekaligus menyalahkan kelompok oposisi atau pihak yang kritis terhadap status quo.
Dengan cara ini, buzzer politik membantu memperkuat ideologi dominan dan membentuk pandangan dunia yang lebih luas yang mendukung kelas penguasa. Framing, sebagai salah satu mekanisme utama dalam teori Gramsci, sangat relevan untuk memahami bagaimana buzzer politik bekerja.
Framing adalah proses di mana media membingkai isu atau peristiwa dengan cara yang mempengaruhi interpretasi masyarakat terhadapnya. Buzzer politik menggunakan media sosial untuk membingkai isu-isu tertentu, menciptakan narasi yang mendukung kebijakan atau tokoh tertentu, serta membatasi ruang bagi pandangan alternatif yang dapat menantang kekuasaan yang ada. Melalui framing ini, buzzer membantu memperkuat konsensus ideologis yang mendukung kelas penguasa dan mengurangi kemungkinan perlawanan terhadapnya.
Buzzer politik bekerja dengan sangat terorganisir, menggunakan teknik-teknik seperti framing dan penyebaran informasi terstruktur untuk membentuk pandangan masyarakat. Sering kali, isu-isu yang mengancam kekuasaan, seperti ketidaksetaraan sosial atau korupsi, dimarginalkan atau dikesampingkan, sementara isu-isu yang menguntungkan penguasa diangkat dan diperbesar. Hal ini memperkuat legitimasi penguasa dan mengurangi ruang bagi kritik yang substansial terhadap struktur kekuasaan yang ada.
Fenomena buzzer politik menjadi bagian dari perang budaya yang lebih besar, dimana buzzer berfungsi sebagai agen dalam perang ideologi yang berusaha menegakkan hegemoni melalui pengendalian wacana publik. Dengan memanfaatkan media sosial sebagai sarananya, buzzer politik berkontribusi pada pembentukan pandangan dunia yang memperkuat dominasi kelas penguasa dan mengurangi kemungkinan perlawanan terhadapnya.
Dalam hal ini, buzzer bukan hanya sekadar alat propaganda, tetapi juga bagian dari upaya yang lebih luas untuk menciptakan dan mempertahankan konsensus sosial yang mendukung kelas dominan.
Jika dilihat melalui kacamata teori-teori Marx dan Gramsci, fenomena buzzer politik memiliki dampak sosial dan politik, baik dalam membentuk kesadaran politik masyarakat maupun dalam memperkuat struktur kekuasaan yang ada. Buzzer politik, yang merupakan instrumen digital yang memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan narasi tertentu, mengubah cara masyarakat memahami isu-isu sosial dan politik, serta memengaruhi cara mereka melihat kebijakan politik dan struktur kekuasaan.
Buzzer politik membawa dampak yang besar terhadap kesadaran politik dan sosial masyarakat. Melalui kacamata Marx dan Gramsci, buzzer berperan dalam memperkuat ideologi dominan yang mendukung kelas penguasa dan mengaburkan ketidaksetaraan sosial yang ada. Buzzer politik memengaruhi opini publik dan mengarahkan perhatian masyarakat kepada isu-isu yang mendukung status quo, sekaligus melemahkan proses demokrasi dengan mengurangi ruang untuk kritik yang substansial terhadap kekuasaan yang ada. Dalam jangka panjang, fenomena ini berpotensi melemahkan partisipasi politik yang kritis dan membatasi kebebasan berpendapat, yang merupakan elemen fundamental dari demokrasi.
Ditinjau dari perspektif Karl Marx, buzzer politik berfungsi sebagai alat untuk menyebarkan ideologi dominan yang mendukung kepentingan kelas penguasa, menciptakan kesadaran palsu yang mengalihkan perhatian dari isu-isu struktural yang lebih besar. Sementara itu, menurut Antonio Gramsci, buzzer politik berperan dalam menciptakan hegemoni melalui media sosial, memperkuat narasi yang mendukung kekuasaan politik dan ekonomi dominan, serta mengontrol wacana publik untuk menciptakan konsensus sosial yang memperkuat status quo.
Dengan demikian, kedua pemikiran ini memberikan kerangka teoretis yang berguna untuk menganalisis fenomena buzzer politik sebagai alat untuk memperkuat struktur kekuasaan melalui manipulasi ideologi dan opini publik di dunia maya. Dalam era digital ini, buzzer politik semakin berperan yang signifikan dan terus menerus dimanfaatkan untuk menjaga dan memperkuat dominasi kelas penguasa, baik di ranah politik maupun ekonomi.
Penulis,
Program Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Sahid Jakarta