IMBCNEWS Jakarta, Masyarakat adat Suku Awyu di Boven Digul, Papua Selatan sedang menggugat izin perkebunan sawit yang merambah hingga mencapai tanah adat mereka. Sementara pada saat bersamaan, pemerintah justru mendorong percepatan pembangunan pabrik pengolahan sawit di Papua Barat.
KKalangan masyarakat suku Awyu meminta perlindungan hukum agar tanahnya tidak diserobt seeanknya demi kepentingan industri sawit. Itu tanah untuk kehidupan masyakat suku Awyu, kata seorang yang ikut melakukan penolakan di Papua.
Penolakan masyarakat adat Suku Awyu atas izin pembukaan sawit saat ini, seperti dilansir VAO Indonesia – AS, sedang disidangkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura.
Pemerintah daerah setempat pada 2021 mengizinkan dibukanya perkebunan seluas lebih 36 ribu hektare di Distrik Mandobo dan Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua Selatan. Selain itu, akan dibuka pula pabrik pengolahan kelapa sawit berkapasitas lebih 90 ton tandan buah segar (TBS) per jam.
Aliansi Mahasiswa, Pemuda dan Rakyat Papua Selatan (Ampera PS) tegas menolak upaya ini. Titin Betaubun, Presiden Mahasiwa Universitas Musamus, Merauke menyebut penolakan ini didasari pada kesadaran bahwa masyarakat adat pada umumnya sangat bergantung pada hutan yang menjadi rumah mereka.
Masyarakat adat Awyu di Boven Digoel, menggugat Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Papua, terkait izin perkebunan sawit. “Siapa pun dari kita, ketika rumah kita mau dirampok oleh orang lain, kita pasti akan berusaha bagaimana caranya untuk menjaga agar rumah kita tetap aman. Itu pun yang sekarang sedang dirasakan oleh masyarakat Suku Awyu,” ujarnya dalam pernyataan bersama.
Mahasiswa, kata Titin, saat ini sedang besama-sama berjuang mempertahankan tanah adat dan rumah Suku Awyu.
“Kami menolak dengan tegas deforestasi yang secara masif terus dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, dan terus berupaya untuk memanipulasi masyarakat, untuk menerima perusahaan yang mereka miliki,” tambah Titin.
Upaya apa pun yang berarti menjadi jalan untuk deforestasi hutan adat akan membawa dampak negatif bagi masyarakat. Dampak itu akan merembet, tidak hanya ke sisi lingkungan, tetapi juga ekonomi, pendidikan, dan kesehatan.
“Kami sebagai aliansi memberikan dukungan moril kepada orang tua dan anak-anak muda hari ini yang merasa resah dengan adanya beberapa korporasi yang melegalkan tindakan-tindakannya secara tidak humanis,” ujarnya.
Ampera PS meminta pemerintah daerah Papua Selatan dan PTUN Jayapura bisa bersikap netral dan turut menyuarakan hak-hak masyarakat adat.
“Karena kami tahu, bahwa ke depan alam semakin berubah karena adanya deforestasi besar-besaran, khususnya di Papua Selatan,” ujarnya lagi.
“Hutan yang mereka pertahankan penting untuk keberlangsungan hidup kita. Mereka melindungi hutan mereka dari ancaman deforestasi yang sering sekali disebabkan oleh proyek-proyek ekstraktif negara dan pelaku ekonomi lainnya di Papua atau di wilayah lainnya,” tegas dia.
Apa yang terjadi pada masyarakat adat Marind nampaknya menjadi pelajaran berharga. Tokoh adat Marind, Elisabeth Ndiwaen, mengatakan mereka telah kehilangan hutan adat karena datangnya investasi.
“Saya punya perjuangan ini sudah dari 2009 sampai 2023 ini. Yang saya mau imbaukan untuk semua pemerintah pusat, bahkan pemerintah daerah, untuk melihat masalah-masalah yang sudah terjadi di atas tanah, hutan, yang sekarang sudah rusak,” ujarnya.
imbcnews