Oleh: Luanna Inggrid
(Pelaku pasar saham)
IMBCNews, Jakarta | Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penurunan tajam hingga 6,02 persen ke level 6.058 pada sesi perdagangan pertama Selasa, 18 Maret 2025. Situasi itu pun memicu mekanisme penghentian sementara (trading halt) oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) selama 30 menit.
Tenggat waktu trading halt itu diatur dalam Surat Keputusan Direksi PT BEI Nomor: Kep-00024/BEI/03-2020 perihal Perubahan Panduan Penanganan Kelangsungan Perdagangan di Bursa Efek Indonesia dalam Kondisi Darurat, yang mulai diberlakukan pada Rabu, 11 Maret 2020.
Setelah itu, perdagangan dilanjutkan hingga akhirnya IHSG ditutup melemah 3,8 persen di level 6.450, mencatatkan salah satu penurunan harian terbesar dalam beberapa tahun terakhir.
Tentunya, pelemahan ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan investor mengenai stabilitas ekonomi domestik dan kebijakan fiskal pemerintah.
Salah satu yang menjadi perhatian investor adalah laju inflasi. Pada Februari, Indonesia mengalami deflasi tahunan (year on year/yoy) sebesar 0,09 persen, yang merupakan yang pertama dalam 25 tahun terakhir, menunjukkan pelemahan konsumsi rumah tangga.
Selain itu, kekhawatiran semakin tertekannya kelompok kelas menengah akibat lapangan pekerjaan yang terbatas dan aktivitas sektor manufaktur yang cenderung melandai.
Faktor-faktor ini membuat investor pesimistis terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, sehingga mendorong aksi jual saham secara masif.
Di sisi lain, kebijakan program makan gratis nasional bagi anak sekolah dan ibu hamil, dengan perkiraan anggaran mencapai Rp171 triliun per tahun, menimbulkan pertanyaan mengenai keberlanjutan fiskal Indonesia.
Pasalnya, pendapatan pajak dalam dua bulan pertama 2025 hanya mencapai Rp187,8 triliun, menurun sekitar 30 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Ketidakpastian mengenai bagaimana pemerintah akan membiayai program ini tanpa meningkatkan utang secara signifikan menjadi salah satu faktor yang menekan pasar saham.
Terdapat pula spekulasi mengenai mundurnya Menteri Keuangan Sri Mulyani. Jika benar ia mundur, pasar khawatir akan terjadi perubahan kebijakan fiskal yang lebih agresif, sehingga meningkatkan risiko investasi di Indonesia. Meski pemerintah telah membantah rumor ini, sentimen negatif sudah telanjur menyebar di kalangan pelaku pasar.
Di tengah tekanan ekonomi global, rupiah pun mengalami depresiasi terhadap dolar AS, mencapai Rp16.432 per USD, turun 1,21 persen dibandingkan awal tahun 2025.
Pelemahan ini berdampak buruk pada saham-saham yang memiliki utang dalam denominasi USD, seperti perusahaan berbasis impor dan sektor manufaktur.
Pelemahan mata uang juga memicu capital outflow dari investor asing yang mulai menarik dananya dari pasar modal Indonesia, memperburuk tekanan pada IHSG.
Tak ketinggalan pula sentimen yang berasal dari BPI Danantara yang memicu lunturnya kepercayaan publik terhadap beberapa BUMN. Hal ini terlihat dari pergerakan saham-saham perusahaan milik negara yang rontok beberapa waktu belakangan.
Strategi Investor Hadapi Gejolak Pasar
Dalam kondisi pasar yang volatil, investor harus mengambil langkah bijak agar tidak terjebak dalam kepanikan.
Di tengah kondisi seperti itu, investor sebaiknya tidak terburu-buru menjual aset hanya karena melihat harga saham turun tajam. Sejarah menunjukkan bahwa pasar saham cenderung mengalami pemulihan setelah mengalami penurunan besar.
Investor perlu memastikan portofolio tetap terdiversifikasi agar tidak terlalu bergantung pada satu sektor yang rentan terhadap gejolak pasar.
Fokus pada saham perusahaan dengan fundamental kuat, seperti emiten dengan pertumbuhan stabil dan neraca keuangan yang sehat.
Selain itu, atur strategi untuk memanfaatkan penurunan harga saham untuk investasi jangka panjang. Sebab, penurunan pasar dapat menjadi peluang bagi investor untuk membeli kembali saham berkualitas dengan harga diskon. Saham-saham blue-chip yang mengalami penurunan tajam namun memiliki prospek cerah dapat menjadi pilihan investasi jangka panjang.
Investor juga perlu terus mengikuti perkembangan kebijakan ekonomi dan keputusan regulator yang dapat memengaruhi pasar modal. Kejelasan dari pemerintah mengenai arah kebijakan fiskal dan stabilitas ekonomi dapat menjadi sinyal pemulihan bagi IHSG.
Jika ragu dalam mengambil keputusan investasi, ada baiknya berkonsultasi dengan penasihat keuangan atau analis pasar untuk mendapatkan strategi yang tepat sesuai dengan profil risiko masing-masing.
Penurunan IHSG pada 18 Maret 2025 ini dipicu oleh kombinasi faktor ekonomi domestik. Situasi ini dapat menjadi pengingat bagi investor pentingnya strategi investasi yang solid dan tidak terpengaruh oleh volatilitas jangka pendek. Dengan pendekatan yang bijak, kondisi seperti ini justru bisa menjadi peluang untuk meraih keuntungan dalam jangka panjang.
Pemerintah dan otoritas pasar diharapkan terus memberikan kejelasan terkait kebijakan ekonomi guna memulihkan kepercayaan investor dan mendorong stabilitas pasar modal ke depan.