IMBCNews – Jakarta – Pro-kontra terkait revisi UU No. 34 TNI tahun 2004 tentang TNI terus bergulir, pihak yang menentangnya khawatir akan kembalinya praktek Dwifungsi ABRI di era Orba sedangkan pihak TNI menganggap hal itu tidak beralasan.
Panglima TNI Jenderal Agus Subianto dalam raker dengan Komisi I DPR (13/3) menyebutkan, perubahan UU TNI sangat penting untuk menjawab tantangan dan ancama strategis yang makin kompleks, baik di dalam maua pun luar negeri.
Poin krusial yang memcu kontroversi revisi UU No. 34 yakni perluasan instansi, kementerian dan lembaga yang dapat diisi perwira aktif TNI dari 10 menjadi 15 .
Sepuluh instansi tersebut: Koordinator bidang Polkam negara, Pertahanan Negara, Sekmil Presiden, Intelijen Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, SAR Nasional, Badan Narkotika Nasional dan Mahkamah Agung.
Sedangkan dalam usulan revisi UU 34 yang sedang dibahas diperluas ke bidang kelautan dan perikanan, BNPB, keamanan laut dan Kejaksaan Agung.
Poin lainnya yakni penambahan batas usia pensiun dari 53 menjadi 58 tahun untuk perwira, dan 60 tahun untuk tamtama dan bintara dari sebelumnya masing masing 53 dan 58 tahun.
Pengamat hukum tata negara dan Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera, Bivitri Susanti, menilai revisi UU TNI berpotensi mengembalikan dwifungsi ABRI.
Kekhawatiran itu muncul setelah pemerintah dan Komisi I DPR tengah menyiapkan revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau UU TNI.
“Ya revisi UU TNI ini sangat berpotensi menghidupkan dwifungsi ABRI,” ujar Bivitri saat dimintai tanggapan Kompas.com.
Dia menambahkan, TNI sebagai alat pertahanan harusnya fokus mengurusi Alat Utama Sistem Senjata (alutsista) untuk pertahanan negara.
Pasal 30 UUD 1945
Bivitri lebih jauh mengemukakan, Pasal 30 UUD 1945 bermakna, prajurit TNI tidak boleh memasuki ranah keamanan, bisnis, politik, serta urusan-urusan di dalam negeri.
Jika TNI masuk ranah selain pertahanan, instansi tersebut akan memiliki tugas lainnya sehingga dapat dikatakan memiliki fungsi ganda atau dikenal dengan dwifungsi.
Sementara kekhawatiran sejumlah tokoh masyarakat terkait kehadiran anggota TNI a.l. selain merusak tatanan dan menghambat karir pejabat sipil, juga bukan kompetensinya.
Dari sisi profesionalisme sendiri, tentu sangat disayangkan jika anggota TNI yang ditempa mental dan fisik sebagai alat pertahanan negara tidak fokus karena menrima tugasatau jabatan baru di luar militer.
Di mana-mana, khususnya di negara yang demokrasinya sudah maju, tentara tugasnya berlatih terus mengasah keterampilannya sehingga sewaktu waktu sudah siap jika tugas pertahanan memanggil.
Apalagi menghadapi kemajuan teknologi dan perubahan konstelasi serta geopolitik global saat ini, yang tentunya juga mengubah konsep dan strategi militer, sehingga menuntut fokus dan konsentrasi penuh, tidak bisa disambi-sambi.
Yang juga memicu kekesalan Masyrakat Koalisi Sipil adalah rapat antara Komisi I DPR dan petinggi TNI yang terkesan tertutup dan “kejar tayang”, dilakukan di buah hotel mewah di Jakarta pada hari libur (Sabtu, Minggu.
Tantara berasal dari rakyat, milik rakyat, sehingga sewajarnya rakyat mengawal agar terbentuk TNI yang mumpuni dalam tugasnya mempertahankan segenap tumpah darah Indonesia dan melindungi rakyat. (imbcnews/Theo/sumber diolah)