IMBC – JAKARTA – Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengulangi kembali ancaman yang dilontarkannya saat kampanye pilpres lalu untuk mengenakan tarif 100 persen kepada negara-negara anggota BRICS jika mereka menerbitkan mata uang baru pengganti dolar AS dalam transaksi perdagangan.
RI resmi sebagai anggota penuh BRICS per 6 Januari 2025 selain Brazil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan sebagai pemrakarsa sesuai namanya (BRICS) dan Iran, Mesir, Etiopia, dan Uni Emirat Arab yang baru bergabung.
”Kami akan meminta komitmen dari negara-negara yang tampaknya bermusuhan ini untuk tidak membuat mata uang baru menggantikan dollar AS atau mereka akan menghadapi tarif 100 persen,” kata Trump di akun platform Truth Social, Kamis (30/1).
Tentu saja, suka atau tidak suka, jika Trump benar-benar melaksanakan ancamannya dan BRICS sampai membuat uang baru pengganti dolar AS atau disebut sebagai dedolarisasi bakal berdampak bagi Indonesia.
BPS mencatat, nilai ekspor Indonesia pada 2024 mencapai 264,7 miliar dolar AS, naik 2,39 persen dibandingkan 2023 di mana AS termasuk destinasi utama selain Jepang dan Tiongkok yang berkontribusi 43,5 persen atau hampir separuh dari total ekspor.
Totalnya, negara tujuan utama ekspor non migas dan migas diserap oleh China (25,56 persen) dari total ekspor non migas per Sept. 2024, lalu AS (10,60 persen), Jepang (7,41 persen), ASEAN 18,71%, Uni Eropa 7,44 persen dan lainnya 30,28 persen.
Secara tahunan, nilai ekspor ke Tiongkok, AS dan Jepang meningkat, masing-masing senilai 5,35 miliar dollar, 2,22 miliar dollar, dan 1,55 miliar dolar.
“Gagasan bahwa negara-negara BRICS mencoba menjauh dari dollar, sementara kita hanya berdiri dan menonton sudah bukan zamannya lagi (berakhir – red) ,” tulis Trump di platform Truth Social miliknya.
Tidak terbitkan mata uang BRICS
Trump pada bagian lain mengatakan, pihaknya akan meminta komitmen negara-negara BRICS untuk tidak menciptakan mata uang baru atau mendukung mata uang lain guna menggantikan dolar AS.
“Atau mereka akan menghadapi Tarif 100 persen,” seru trump seperti dikutip AFP (31/1)
Komentar Trump tentang kemungkinan pengenaan tarif 100 persen terhadap BRICS muncul beberapa hari sebelum batas waktu 1 Februari 2025 yang ditetapkannya segera setelah menjabat.
Trump juga akan mengenakan tarif 25 persen pada negara tetangganya: Kanada dan Meksiko kecuali mereka menindak tegas migran ilegal yang melintasi perbatasan AS dan perdagangan fentanil (obat bius) yang mematikan.
Secara terpisah, Donald Trump juga mengancam China anggota blok BRICS dengan pungutan tambahan 10 persen pada barang-barang ekapornya secepatnya pada 1 Februari 2025.
Sementara Menko Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengemukakan, pemerintah optimistis dalam menghadapi kebijakan tarif perdagangan yang agresif dari AS.
Airlangga mengatakan, Indonesia cukup kebal dalam menghadapi kebijakan tarif yang agresif dari AS. Sebab, selama ini AS pun telah menerapkan berbagai tarif perdagangan kepada Indonesia.
“Bagi kita, tarif yang dikenakan AS sudah hal biasa. AS mengenakan tarif untuk sepatu, baju, dan berbagai komoditas produksi kita, “ tuturnya seraya menyebutkan, Indonesia sudah cukup imun kebijakan AS tersebut.
Kendati demikian, lanjutnya, pemerintah tetap melakukan langkah mitigasi melalui kerja sama bilateral seperti Free Trade Agreement (FTA) agar meskipun AS menerapkan tarif tinggi, tidak diberlakukan bagi Indonesia.
“Kita sedang meminta adanya kerja sama ekonomi secara bilateral agar tarifnya bisa diturunkan,” kata Airlangga.
Sedangkan Wakil Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Mari Elka Pangestu menyatakan Indonesia tidak perlu khawatir mengenai hubungan dengan AS setelah Indonesia resmi diterima sebagai anggota penuh organisasi kerja sama ekonomi BRICS.
“Tidak perlu khawatir karena kita kan bebas aktif,bisa bekerja sama dengan siapa pun tanpa mengganggu kepentingan AS. Bahkan kita ingin menjembatani antara negara berkembang dan negara maju,” ujar Mari di Istana Kepresidenan, Jakarta, (7/1) lalu.
“Kita belum mendengar atau melihat ancaman itu, namun jika ada, itu hak mereka . Saat ini pun, kita sudah memiliki sistem perdagangan langsung dengan China, tanpa menggunakan dolar,” tambahnya.
Namun politik “dua kaki” RI yakni tetap berhubungan baik dengan AS setelah masuk BRICS merupakan pertaruhan, selain bisa menghadapi tekanan AS, bisa juga jadi pelimpahan ekspor BRICS jika kinerja ekspor dan daya saing tidak terus diperbaiki. (imbcnews/Theo/sumber diolah; Reuters)