IMBC – JAKARTA – Bushido bangsa Jepang menanamkan sikap kesatria yang menekankan nilai-nilai moral yakni kesetiaan, keberanian dan kehormatan, berhasil mengantarkan negara itu menjadi raksasa ekonomi global.
Namun meningkatnya kasus-kasus bunuh diri di kalangan murid sekolah dasar dan menengah di negeri matahari terbit itu pada 2024 menunjukkan ada yang tidak beres sehingga tidak patut ditiru.
Berdasarkan laporan data kementerian kesehatan Jepang yang dikutip Channel News Asia (CNA), Rabu (29/1) , kenaikan kasus bunuh diri di kalangan siswa sekolah dasar dan menengah pada2024 naik menjadi 527 kasus dibadningkan 513 kasus pada tahun 2023..
Dari 527 kematian siswa akibat bunuh diri, 239 orang adalah laki-laki dan 288 orang perempuan meliputi 349 murid sekolah menengah atas (kelas 10-12), 163 dari sekolah menengah pertama (kelas 7-9), dan 15 dari SD (kelas 1-6).
Secara keseluruhan jumlah orang dari segala usia yang meninggal dunia karena bunuh diri turun 7,2 persen menjadi 20.268. Angka ini jauh lebih rendah dari rekor tertinggi pada tahun 2003 yakni 34.427 orang.
Di sisi lain, kasus bunuh diri di kalangan individu berusia di bawah 20 tahun juga menurun menjadi 800 pada tahun 2024, dibandingkan 810 pada tahun sebelumnya. “Kami menganggap ini sangat serius,” tutur Keiichiro Tachibana, wakil kepala sekretaris kabinet .
“Kami akanseraya menambahkan, pihaknya akan terus berupaya semaksimal mungkin mengambil langkah-langkah guna melindungi kehidupan anak-anak, dan mewujudkan masyarakat yang tidak memaksa siapapun untuk bunuh diri,” sambungnya.
Sedang dteliti
Kemenkes Jepang mengatakan penyelidikan lebih lanjut diperlukan untuk menentukan akar penyebabnya a.l. dengan menerbitkan analisis terhadap input data, Maret mendatang, setelah lebih banyak angka tersedia.
Jepang setiap tahunnya mengalami peningkatan jumlah bunuh diri remaja pada setiap akhir liburan musim panas, yakni di penghujung Agustus hingga awal September.
Hal ini mendorong pemerintah dan media untuk meningkatkan seruan publik agar remaja yang sedang berjuang mencari bantuan.
Sejauh ini belum diketahui penyebab pasti maraknya kasus bunuh diri di kalangan siswa,namun hasil analisis menunjukkan, remaja menghadapi sejumlah tekanan terkait studi, perundungan, hubungan, pilihan karier, dan masalah kesehatan.
Pada puncaknya di 2003, jumlah pria yang bunuh diri Jepang hampir tiga kali lebih banyak daripada wanita. Hal ini mendorong pemerintah untuk mengambil tindakan.
Hal ini mencakup kampanye kesadaran yang agresif, layanan kesehatan mental, dan upaya untuk meningkatkan budaya tempat kerja yang ketat.
Angka kelahiran anjlok
Sebaliknya, angka kelahiran di Jepang untuk pertama kalinya menurun di bawah 700 ribu per tahun. Sepanjang 2024 hingga bulan ke-11, angkanya berada di 661.577 kelahiran, yakni turun 5,1 persen.
Tren orang memilih untuk menunda atau tidak memiliki anak sama sekali terus berlanjut. Banyak generasi muda juga memilih hidup sendiri, alih-alih memutuskan menikah.
Mereka khawatir tidak memiliki biaya yang cukup untuk membangun keluarga. Terlebih, masih banyak yang berjuang pasca pandemi COVID-19.
Menurut Japang Today, data awal yang dirilis Kemenkes, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan untuk kelahiran dari Januari hingga November sudah mencakup data warga negara asing.
Jumlah kelahiran di Jepang terus menurun sejak 2019 di bawah 900.000 dan pada 2022 di bawah 800.000, lalu turun lagi pada 2023 menjadi 727.277, rekor terendah sejak data pembanding tersedia pada 1899.
Penurunan sebesar 3,8 persen dari 2023 akan membawa angka tersebut di bawah 700.000. Penurunan antara Januari dan Agustus 2024 dari tahun sebelumnya adalah 5,9 persen.
Turun sampai 2038
Institut Nasional Penelitian Kependudukan dan Jaminan Sosial menyebutkan, angka kelahiran 2024 sebanyak 755.000 dan pada 2038 diproyeksikan akan anjlok sampai 700.000.
Pemerintah menyiasati kenaikan angka kelahiran melalui kenaikan tunjangan pengasuhan anak dan menawarkan manfaat cuti orang tua, dengan memandang periode hingga awal 2030-an sebagai kesempatan terakhir untuk mengatasi krisis angka kelahiran.
Jepang menghadapi kekurangan tenaga kerja yang mengancam keberlanjutan sistem jaminan sosial, seperti perawatan kesehatan dan para pensiun.
Kemajuan ekonomi dan kejahteraan terbukti bukan jaminan bagi warga untuk hidup nyaman dan berbahagia. Persoalan ada saja !