IMBCNews Taiwan|Radio Taiwan International (Rti) berpartisipasi dalam seminar “Shrinking Civic Space in Asia: Stories of Resistance and Pushback” ke-9 di Asia Center di Bangkok, Thailand, menggelar forum dan memimpin diskusi di acara yang menarik ratusan peserta dari berbagai kalangan tersebut.
Rti menggelar forum pembukaan pada 21 Agustus malam.
Kacey Wong: Seni untuk lawan otoritarianisme
Dikutip dari laporan Rti, Kacey Wong (黃國才), seniman visual Hongkong, mengungkapkan ia memilih meninggalkan Hongkong dan menetap di Taiwan, setelah ditekan pemerintah karena keaktifannya dalam gerakan protes di tempat asalnya yang kini telah menjadi wilayah administratif istimewa RRT.
“Kelemahan memicu perang, sedangkan kekuatan menjadi penindasan,” kata Wong, menambahkan bahwa “Negara kecil harus bersatu dan melempar batu ke raksasa.”
Ia pun mengingatkan agar orang-orang tidak meremehkan kekuatan lunak dan pertukaran seni regional, karena kreasi seni menjadi salah satu sarana yang dapat digunakan untuk melawan otoritarianisme.
Kini Wong menetap di Taichung, membuat karya seni sebagai alat penyampaian aksi protesnya.
Li Ming-li: Media harus memegang nilai demokrasi
Li Ming-li (李明俐), Wakil Presiden Rti yang turut memandu forum tersebut, menyampaikan peran mereka, yakni sebagai media yang menggunakan berbagai bahasa untuk menyampaikan pesan bagi imigran baru dan pekerja migran di Taiwan.
Ia menambahkan bahwa mereka berupaya agar imigran baru dan pekerja migran di negara tersebut dapat mengungkapkan kisahnya sendiri melalui media publik agar semakin banyak didengar.
Media publik mesti berpegang teguh pada nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan kebebasan berpendapat, serta memastikan pemberitaan berimbang, tambah Li.
Li juga mengatakan bahwa Rti Academy, yang dibentuk tahun ini, memainkan peran penting dalam geopolitik dan integrasi internasional.
Menurutnya, akademi tersebut mesti memanfaatkan dan meningkatkan pengaruh komunikasi internasional Taiwan dalam komunitas global.
Li mengungkapkan fungsi Rti Academy bukan hanya untuk pelatihan media semata, melainkan juga untuk mendorong dialog dan pertukaran di antara komunitas media internasional, bersama-sama melindungi ruang bicara di Asia.
Oleksandr Woosung Shyn: Ukraina dan Taiwan hadapi tantangan serupa
Sementara itu, pemandu forum lainnya sekaligus pembawa acara bahasa Ukraina Rti, Oleksandr Woosung Shyn menunjukkan bahwa masyarakat Ukraina dan Taiwan memiliki tantangan serupa, menambahkan bahwa Ukraina didominasi Rusia sementara Taiwan menghadapi perang kognitif RRT.
Oleh karena itu, kata Shyn, penting bagi kedua negara tersebut untuk menceritakan kisah mereka dengan bahasa sendiri.
Shyn pun mengungkit kebangkitan dan kebijakan bahasa di Taiwan, menambahkan bahwa negara tersebut memiliki lebih dari 20 bahasa, yang mencerminkan keragaman budaya.
Setelah perang Rusia-Ukraina, tambah Shyn, identitas Ukraina dan Taiwan menjadi isu penting dalam diskusi internasional, sebagai komunitas-komunitas dengan masa depan yang mendapat sorotan dunia.
Niranjan Sahoo: Pemilu India beri inspirasi pada komunitas demokrasi internasional
Analis Tata Kelola dan Politik Observer Research Foundation di India, Niranjan Sahoo, mengatakan bahwa hasil Pemilu India mengungkap permasalahan otoritas pemerintahan setempat serta pengaruh komunitas daring yang manipulatif.
Menurut Sahoo, ini memberikan inspirasi kepada komunitas demokrasi internasional untuk mengungkap bagaimana toleransi memengaruhi mereka.
Sementara itu, masih di konferensi yang sama, Chairperson Rti, Cheryl Lai (賴秀如) memimpin diskusi forum bertajuk “Melampaui Batas dan Etnis: Memperkuat Suara dan Keberagaman”.
Filip Noubel: “Dunia sedang berbicara, apakah Anda mendengarkannya?”
Di forum tersebut, Filip Noubel, Pemimpin Redaksi Global Voices, menekankan bahwa pertanyaan inti dari platformnya adalah “Dunia sedang berbicara, apakah Anda mendengarkannya?”
Ia menggarisbawahi perubahan cepat lingkungan budaya multibahasa global, di mana inovasi bahasa sering berpusat pada bahasa Inggirs, sementara ekspresi asli dari bahasa lokal sering diabaikan.
Menjaga keaslian bahasa asli sangat penting, kata Noubel, karena jika terjadi distorsi dalam proses penerjemahan, makna budaya dapat hilang.
Noubel pun mengajak media-media untuk lebih menekankan keberadaan bahasa-bahasa tersebut dalam narasi mereka serta memastikan cerita dalam berbagai bahasa dapat didengar di tingkat global melalui penerjemahan.
Global Voices sendiri adalah platform yang menyediakan layanan penerjemahan dan narasi dalam lebih dari 30 bahasa, yang berkomitmen menjaga keaslian budaya dan bahasa lokal, serta menampilkan beragam cerita dari seluruh dunia melalui kolaborasi lintas negara.
Tony Thamsir: Penjembatan Indonesia dan Taiwan
Dalam forum tersebut, Tony Thamsir, pembawa acara program bahasa Indonesia di Rti, membagikan pengalamannya di mana pada masa kecilnya, ia kerap didiskriminasi di Indonesia karena penampilannya yang mirip etnis Tionghoa.
Namun, kata Tony, ketika datang ke Taiwan untuk belajar, ia justru dianggap “tidak cukup Tionghoa” karena identitasnya sebagai orang Indonesia, menambahkan bahwa identitas gandanya ini membuatnya menghadapi banyak tantangan.
Tony, yang mempelajari ilmu politik dan bahasa Mandarin di National Chengchi University, menceritakan bahwa pabrik ayahnya dibakar saat kerusuhan Mei 1998.
Ini merupakan pengalaman yang memberikan luka dalam yang ditimbulkan konflik etnis, lanjut Tony, yang menekankan bahwa meskipun demikian ia tidak menyerah dan memilih menjadi jembatan budaya antara Indonesia dan Taiwan.
Tony bekerja di Pemerintah Kota Taipei setelah kelulusannya dan kemudian bergabung dengan program bahasa Indonesia di Rti pada 2006.
Seiring dengan meningkatnya jumlah pekerja migran, pelajar, dan imigran Indonesia di Taiwan, konten program dan pengalamannya menjadi penghubung penting antara budaya kedua negara.
Berdasarkan pengalaman pribadi dan pemahamannya tentang masalah sosial di kedua negara, kata Tony, ia berharap dapat membantu lebih banyak pekerja migran, imigran, atau pelajar Indonesia di Taiwan yang menghadapi kesulitan, meskipun suara mereka sering tidak terdengar.
Mulihay Talus: Sejarah suku Penduduk Asli Taiwan, Sakizaya
Mulihay Talus, pembawa acara dari radio suku Penduduk Asli Taiwan Alian, menceritakan bahwa sukunya, Sakizaya, mengalami “Insiden Karewan” selama periode Dinasti Qing, yang menyebabkan banyak dari mereka tewas dan terpaksa berpindah.
Ini juga mengakibatkan budaya dan bahasa mereka menjadi tersembunyi di bawah pengaruh suku Amis selama lebih dari satu abad, tambah Talus.
Saat ini, kata Talus, suku Sakizaya, suku Penduduk Asli ke-13 Taiwan, telah diakui secara resmi.
Talus, yang juga mengenakan pakaian tradisional suku Sakizaya pada forum tersebut, menunjukkan bahwa warna-warna di pakaian tersebut memiliki makna historis yang mendalam.
Misalnya, katanya, merah melambangkan darah yang ditinggalkan leluhur, biru melambangkan hubungan dengan suku Amis dan pentingnya tidak melupakan akar budaya, hijau mewakili bambu berduri yang melindungi komunitas, dan putih melambangkan air mata suku selama masa-masa penderitaan.
Dr. Martin Petlach: “Apakah kalian percaya pada pemerintah kalian?”
Dr. Martin Petlach dari Universitas Mendel Ceko, yang memfokuskan penelitiannya pada kepercayaan politik dan tingkat partisipasi pemilih di Asia Tenggara, memulai presentasinya dengan pertanyaan, “Apakah kalian percaya pada pemerintah kalian?”
Menanggapi ini, beberapa orang terlihat tersenyum, sementara ada yang menyatakan mereka memiliki pandangan negatif.
Chairperson Rti, Lai, menambahkan bahwa tanpa kepercayaan pada pemerintah, diskusi budaya dan isu lintas batas yang telah dibahas mungkin tidak berarti banyak.
Petlach menunjukkan penelitiannya, yang menunjukkan Vietnam memiliki tingkat kepercayaan terhadap institusi politik lebih dari 90 persen, sementara di Malaysia dan Thailand lebih rendah, sekitar 40 persen.
Dikutip dari laman Asia Center, “Shrinking Civic Space in Asia: Stories of Resistance and Pushback” adalah tajuk konferensi internasional tahunan ke-9 yang diadakan Asia Center di Bangkok, Thailand pada 21 sampai 23 Agustus 2024. Konferensi ini membahas kisah-kisah perlawanan dalam upaya mempertahankan ruang sipil di Asia. Topik ini dinilai mendesak dan tepat waktu mengingat semakin menyempitnya ruang sipil di kawasan ini yang mengancam masa depan masyarakat demokratis.
Radio Taiwan Internasional adalah stasiun radio nasional dari Republik Tiongkok (ROC) di Taiwan, yang mengudara dan menyebarkan “Suara dari Taiwan” dengan 20 bahasa ke seluruh penjuru dunia, termasuk bahasa Indonesia. Program acara di Rti meliputi sejarah perjalanan demokrasi di Taiwan, budaya, sosial, adat istiadat dan berbagai pembangunan yang sedang dilaksanakan.
Tahun ini, Rti diundang oleh Asia Center untuk berpartisipasi dalam forum internasional mereka.
Penulis: Med-Taiwan