Oleh Jafar M Sidik, Wartawan Senior
IMBCNEWS | Sekitar akhir April tahun lalu, seorang diplomat salah satu negara Commonwealth of Independent States (CIS) menghubungi ANTARA. Dia tertarik oleh tulisan ANTARA mengenai sikap negara-negara tetangga Rusia terhadap invasi Rusia ke Ukraina.
CIS atau Persemakmuran Negara-Negara Merdeka adalah organisasi kawasan beranggotakan negara-negara bekas Uni Soviet, yang dibentuk setelah Soviet bubar. Ketika kami kemudian bertemu muka di sebuah restoran di Jakarta Selatan, seperti umumnya diplomat di mana pun yang akan senantiasa hati-hati berucap, diplomat CIS ini dengan halus menolak menjawab bagaimana sikap negaranya dalam perang di Ukraina.
Namun, itu tak lagi penting karena ketertarikan dia kepada tulisan ANTARA mengenai kecemasan negara-negara tetangga Rusia, secara implisit mengafirmasi analisis bahwa tetangga-tetangga Rusia khawatir situasi seperti yang dihadapi Ukraina bisa menimpa negara mereka.
Delapan bulan kemudian, ANTARA ditugaskan ke Lithuania untuk meliputi sebuah acara bisnis yang diadakan sebuah perusahaan perawatan pesawat terbang terkemuka di dunia yang memiliki cadang usaha di Indonesia.
Lithuania adalah juga bekas republik dalam Uni Soviet yang ambruk pada awal 1990-an dan mengakhiri Perang Dingin.
Ia berbatasan langsung dengan Rusia, tepatnya dengan Kaliningrad yang menjadi markas Armada Baltik Rusia, juga berbatasan dengan Belarus di bagian timurnya. Belarus adalah tempat Rusia melancarkan invasi ke Ukraina 24 Februari, tepat setahun lalu.
Sebelum sampai Lithuania pun, ANTARA sudah tergelitik ingin mengetahui pandangan masyarakat Lithuania terhadap perang di Ukraina.
Dalam beberapa kesempatan bertemu dengan warga Ukraina di Lithuania itu, ANTARA berusaha menggali hal tersebut, termasuk dalam sebuah santap malam dengan eksekutif dan staf perusahaan perawatan pesawat asal Lithuania itu.
“Russia is the bad guy (Rusia itu jahat),” kata Zydrune Budine, yang merupakan staf hubungan masyarakat pada perusahaan perawatan pesawat terbang Lithuania itu.
Jumlah penduduk Lithuania cuma 2,8 juta, yang 84,6 persen di antaranya etnis Lithuania, sedangkan proporsi etnis Rusia mencapai lima persen. Di Lithuania, juga bertemu dengan seorang diplomat Lithuania. Diplomat ini memiliki pandangan tak berbeda dengan pemerintah Lithuania yang sejak awal menentang invasi Rusia di Ukraina, bahkan PM Ingrida Simonyte mengunjungi Ukraina pada April 2022.
Pandangan-pandangan orang-orang Lithuania yang berbicara dengan ANTARA itu mencerminkan sikap umum di Lithuania terhadap konflik di Ukraina, seperti terlihat dalam berbagai jajak pendapat.
Jajak pendapat DG COMM’s Public Opinion Monitoring Unit pada Oktober 2022 misalnya, menunjukkan Lithuania menganggap Rusia ancaman besar bagi keamanan nasionalnya.
Dibandingkan dengan negara-negara Eropa dalam jajak pendapat itu, Lithuania adalah teratas yang menganggap Rusia sebagai ancaman keamanannya.
Dari Baltik sampai Georgia
Setelah Lithuania, ada Polandia yang berbatasan dengan Ukraina dan pernah pula menjadi satelit Uni Soviet serta di masa lalu acap berkonflik dengan imperium Rusia.
Yang mengejutkan adalah Swedia yang berpuluh-puluh tahun netral. Negara ini menduduki urutan ketiga sebagai negara yang menempatkan Rusia sebagai ancaman.
Jajak pendapat ini sendiri tak melibatkan Estonia dan Latvia yang pecahan Uni Soviet, atau Norwegia dan Finlandia yang berbatasan dengan Rusia.
Finlandia yang tidak seperti Norwegia, bukan anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), dan memiliki perbatasan sepanjang 1.340 km dengan Rusia, kian merasa tidak nyaman dengan Rusia.
Bahkan, bersama Swedia, Finlandia melanggar tabu netral, dengan melamar menjadi anggota NATO.
Negara Eropa lain yang tak masuk survei DG COMM adalah Georgia yang seperti Ukraina memiliki perbatasan dengan Rusia dan diperangi Rusia pada 2008. Sekitar sebulan setelah Rusia menginvasi Ukraina pada Februari 2022, Caucasus Research Resource Centers di Georgia menggelar jajak pendapat mengenai perang Ukraina.
Ternyata, 80 persen warga Georgia menilai perang Ukraina pecah gara-gara Rusia dan Vladimir Putin. Masing-masing hanya 1 persen yang menyebut Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy, NATO, dan Amerika Serikat sebagai biang kerok perang ini.
Sebanyak 79 persen warga Georgia menganggap Rusia ingin mencaplok Ukraina dan menghidupkan imperium Uni Soviet. Tak heran, 95 persen warga Georgia meminta negaranya membantu Ukraina.
Negara bekas Soviet lainnya yang berbatasan dengan Rusia adalah Azerbaijan dan Kazakhstan. Di dua negara ini pun pandangan terhadap Rusia tidak lebih baik.
Menurut jajak pendapat DEMOSCOPE Bureau pada November 2022, 55 persen rakyat Kazakhstan memang netral dalam kasus perang Ukraina, tetapi jika melihat komposisi yang pro dan kontra, yang bersimpati kepada Ukraina lebih banyak ketimbang Rusia.
Menurut jajak pendapat itu, 22 persen warga Kazakhstan mendukung Ukraina, sementara yang mendukung Rusia hanya 13 persen.
Memang lebih terpolarisasi ketimbang negara-negara eks Soviet lainnya mengingat Kazakhstan memiliki proporsi penduduk etnis Rusia lumayan besar sampai mencapai 15 persen dari total 19,4 juta penduduk negeri ini.
Akan halnya Azerbaijan, negara ini kerap berseberangan dengan Rusia. “Opini publik di Azerbaijan sejak lama mengkhawatirkan ancaman imperialisme Rusia,” kata Murad Muradov dari lembaga think tank Azerbaijan, Topchubashov Centre.
Azerbaijan, Georgia, Ukraina dan Moldova saling mendukung dalam setiap sengketa teritorial yang mereka hadapi, termasuk ketika Azerbaijan dan Armenia bersengketa dalam isu Nagorno Karabakh.
Tiga dari keempat negara itu memiliki kantong-kantong etnis Rusia yang acap menjadi pintu masuk bagi Rusia untuk mengintervensi mereka, seperti saat ini terjadi di Ukraina dan Georgia pada 2008.
Keempat negara sepertinya berusaha lepas dari pengaruh Rusia, sampai membentuk Organisasi untuk Demokrasi dan Pembangunan Ekonomi GUAM (Georgia, Ukraina, Azerbaijan dan Moldova) pada 2001.
GUAM kebalikan dari Collective Security Treaty Organization (CSTO) yang beranggotakan Rusia, Belarus, Armenia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, dan Tajikistan.
Amanat UUD 1945
Hampir semua anggota GUAM menghadapi masalah separatisme di wilayah-wilayah berpenduduk mayoritas atau memiliki proporsi etnis Rusia cukup besar.
Ukraina di bagian timurnya di Donbas, Georgia di Abkhazia dan Ossetia Selatan yang kini sudah memisahkan diri tapi tak diakui oleh kebanyakan negara di dunia, dan Moldova di Transnistria, sedangkan Azerbaijan menghadapi masalah di Nagorno Karabakh yang mayoritas penduduknya etnis Armenia.
Hampir semua kantong ini bergolak karena koneksi erat dengan Rusia. Transnistria ini pun saat ini ikut memanas.
Tak salah jika Zelenenskyy menyatakan Rusia tak akan berhenti di Ukraina. Negara-negara eks Soviet dan eks Blok Timur, seperti Polandia, bisa menjadi sasaran Putin berikutnya.
Tentu saja kebanyakan negara di dunia tak mau tahu dengan kekhawatiran tetangga-tetangga Rusia itu dan menyederhanakan perang di Ukraina sebagai tak lebih dari konflik AS melawan Rusia.
Benar, Barat dan AS acap berstandar ganda, termasuk dalam isu Palestina, tapi seharusnya itu tak membenarkan aksi Rusia di Ukraina yang sama-sama melanggar prinsip-prinsip universal dalam Piagam PBB.
Resolusi Majelis Umum PBB baru-baru ini sendiri menuntut Rusia mundur tanpa syarat dari Ukraina.
Negara-negara, seperti China dan India, bahkan tak menentang resolusi ini. Pun dengan Armenia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, dan Tajikistan yang semuanya anggota CSTO.
Bagi Indonesia sendiri, pembelaan kepada Ukraina bukan berarti condong kepada Barat atau Amerika Serikat.
Sebaliknya, memihak Ukraina adalah menjalankan amanat UUD 1945 yang meniscayakan Indonesia berpihak kepada kemerdekaan dan menghormati kedaulatan sebuah negara. Saking cintanya kepada kemerdekaan, ada pepatah di Indonesia bahwa “kita cinta perdamaian, tapi lebih cinta kemerdekaan.”
Lagi pula, apa yang dilakukan Ukraina niscaya dilakukan negara yang wilayahnya diserobot negara lain. Mereka pasti mencari bantuan dari negara lain, termasuk dari negara-negara besar yang dianggap berstandar ganda.
Ketika pada 2017 junta Myanmar melakukan pembersihan etnis Rohingya sehingga seluruh dunia marah, termasuk dunia Islam, adalah Rusia dan China yang membuat junta militer merasa di atas angin walau sekitar 25 ribu warga Rohingya mati hanya karena berbeda etnis, dan hampir sejuta lainnya lari ke Bangladesh.
Fakta ini menunjukkan tak ada negara besar yang tidak berstandar ganda, termasuk Rusia. Semua bertindak atas kepentingan nasionalnya, termasuk dalam sengketa teritorial.
Padahal, dunia sudah sepakat mendahulukan jalan damai untuk menyelesaikan sengketa. Bahkan, demi menomorsatukan jalan damai itu, Indonesia harus kehilangan Timor Timur.
Namun, Indonesia menghormati mekanisme hukum internasional dan tetap berhubungan baik dengan Timor Leste, sampai aktif mendorong ASEAN agar menerima negara baru ini sebagai anggota barunya.
Jika kemudian banyak orang Indonesia bersimpati kepada Ukraina dan lebih mendukung Ukraina, maka itu bukan karena pro Barat dan Amerika Serikat, pun bukan karena membenci Rusia.
Ini amanat UUD 1945 agar Indonesia memuliakan kemerdekaan dan kedaulatan negara.
Ini juga bentuk bangsa ini bersimpati kepada negara-negara yang cemas bakal bernasib serupa Ukraina, terlebih negara-negara ini umumnya lebih kecil ketimbang Ukraina, sehingga manusiawi jika mereka cemas melihat situasi di Ukraina.
imbcnws/ant/diolah/