IMBCNews, Bogor | Rektor Universitas Pertahanan (Unhan) RI, Letnan Jenderal TNI Jonni Mahroza menekankan, krisis air akibat perubahan iklim dapat melemahkan masyarakat. Hal tersebut dapat pula memicu perang antar negara.
Demikian disebut Mahroza saat membuka Seminar Internasional Teknologi Ketahanan Air (Water Security Seminar), mewakili Menteri Pertahanan Prabowo Subianto di Aula Merah Putih Unhan RI, Komplek IPSC Sentul, Bogor, Jawa Barat, Jumat (22/9).
Mahroza tegaskan, krisis air ke depan dapat memicu perang antar negara. “Hal ini disebabkan nilai vital air yang mempengaruhi segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara,” tegasnya
Perubahan iklim, dipandang Mahroza memiliki dampak serius pada ketahanan sumber daya air. Oleh karena itu, tindakan mitigasi yang tepat diperlukan untuk memperkuat ketahanan air negara dan mencegah kerugian negara yang lebih besar.
Mahroza menambahkan, tujuan dilaksanakan acara ini adalah untuk memperluas wawasan dan mendapatkan solusi tercapainya ketahanan sumber daya air dengan menggunakan teknologi paling mutakhir yang sesuai dengan kondisi alam Indonesia guna pertahanan negara yang kuat.
“Oleh karena itu, diskusi mengenai Water Security menjadi sangat penting karena peran ketahanan air yang sangat vital dalam konteks supply chain berkelanjutan, demi menjaga kelangsungan hidup Bangsa dan Negara Indonesia,” ungkap Mahroza.
Seminar bertajuk “Water Security Seminar – Technology For Indonesia,” yang digelar Universitas Pertahanan bekerja sama dengan Indonesia Business Post Media ini dalam rangka menjawab ancaman krisis air di Indonesia.
Seminar dan pameran tersebut. menghadirkan pembicara dari para pakar air internasional, dan mendatangkan lebih dari 15 perusahaan dalam dan luar negeri.
Mahroza juga menyampaikan, kehidupan manusia dan segala makhluk hidup, ketahanan pangan, ketahanan kesehatan, industri dan lain-lain adalah aspek yang tidak dapat terlepas dari ketahanan sumber daya air.
Ketahanan Air
Perubahan iklim dan krisis air ini memerlukan penanganan yang efektif untuk memitigasi dampak negatif yang timbul. Salah satunya dan terutama adalah dengan meningkatkan ketahanan air di seluruh Indonesia.
Krisis air bersih menjadi salah satu ancaman paling nyata yang akan dihadapi Indonesia dan negara-negara lain di seluruh dunia.
Berdasarkan laporan yang diterbitkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), diproyeksikan bahwa pada tahun 2025, seluruh bumi akan mengalami krisis air.
PBB juga memperkirakan pada tahun 2030, kebutuhan air tawar global akan meningkat sekitar 40 persen lebih tinggi daripada ketersediaannya saat ini, sebagai akibat dari perubahan iklim, aktivitas manusia, dan pertumbuhan penduduk.
Setelah Cape Town yang beberapa waktu lalu mengalami krisis air bersih, sebelas kota lain yang juga terancam mengalami hal yang sama yaitu Sao Paulo, Bangalore, Beijing, Kairo, Jakarta, Moskwa, Istanbul, Mexico City, London, Tokyo, dan Miami.
Menurut Mahroza, kondisi water security di Indonesia saat ini sedang menuju ke krisis air, ditandai dengan terjadinya kekeringan di Nusa Tenggara (NTT, NTB), Maluku, Jawa (Gunung Kidul), dan terjadinya banjir di DKI, Bandung dan beberapa kota lainnya sebagai dampak dari perubahan iklim.
Saat ini, penurunan ketersediaan air yang merata diperkirakan akan terjadi di Pulau Jawa dan Nusa Tenggara selama periode proyeksi 2020-2045.
Pada 2024, tercatat penurunan rata-rata ketersediaan air sebesar 439,21 m3 per kapita per tahun di Pulau Jawa dan 1.098,08 m3 per kapita per tahun di Nusa Tenggara. Dampak ekonomi negatif di sektor ini diperkirakan mencapai 27,9 Triliun Rupiah.
Ketahanan air juga diharapkan dapat menghadapi tantangan penurunan ketahanan pangan di Indonesia, seperti produksi padi yang diproyeksikan turun lebih dari 25% (2020-2045) di berbagai Provinsi seperti Kalimantan Utara, Gorontalo, Maluku, dan Maluku Utara.
Di Pulau Jawa dan Sumatera, yang merupakan pusat produksi beras, juga diperkirakan mengalami penurunan sebesar 10 persen hingga 17,5 persen.
“Meningkatkan ketahanan air dapat membantu pertanian, termasuk produksi padi, mengatasi tantangan perubahan iklim dan menjaga ketahanan pangan di Indonesia,” kata Mahroza.
Hal ini juga sangat penting untuk mengurangi dampak ekonomi negatif yang diperkirakan mencapai 77,9 TriliunRupiah akibat penurunan produksi padi yang disebabkan oleh perubahan iklim.
Selain itu, perubahan suhu dan pola hujan juga meningkatkan populasi vektor penyakit seperti DBD, malaria, dan pneumonia.
Proyeksi potensi kerugian ekonomi di sektor kesehatan akibat DBD saja diperkirakan mencapai 31,3 Triliun Rupiah dari 2020 hingga 2024. (Sumber: MINANews-L/R1/P2)