Oleh Dr. Yusuf Ms SH MH **
IMBCNews | Dalam Balck’s Law Dictionary (9th edition), Cessie disebut sebagai cession yang memiliki tiga arti, The act of relinquishing property rights; In International Law, the relinquishing or transfer of land from one nation to another, esp. after a war as part of the price of peace; The land so relinquished or transferred.
Pengertian sederhananya, perbuatan melepaskan hak milik atau penjualan utang karena kreditor tidak mampu menyelesaikannya. Dalam Hukum Internasional, pelepasan atau pengalihan tanah dari satu negara ke negara lain, khususnya setelah perang sebagai bagian dari harga perdamaian dan tanah yang begitu diserahkan atau dialihkan. Dengan demikian, variabelnya adalah, pelepasan hak atau pelepasan utang, pelepasan atau pengalihan tanah sebagai boreg (borgtocht) yang menjadi agunan dan penyerahan itu bagian dari mekanisme perdamaian.
Di Indonesia, istilah Cessie baru banyak dikenal pasca krisis ekonomi 1998, dimana Bank Bali saat itu mempunyai tagihan kepada sedikitnya tiga bank swasta nasional, yakni BDNI, Bank Bira dan Bank BUN.
Tagihan dari tiga bank itu, saat itu, diperkirakan mendekati Rp3 Triliun. Mengapa Bank Bali mengalami kesulitan dalam penagihan dan apakah ketiga bank tersebut terdapat perjanjian awal adanya utang piutang yang memasukkan klausul dibolehkan pengalihan hutang kepada pihak ketiga (cessie) ?
Salah satu pemilik Bank Bali adalah Rudy Ramly yang pada akhirnya kepemilikan pindah ke Joko Tjandra. Ia mengirim surat kepada tiga bank tersebut agar dapat menyelesaikan pinjamannya lewat pasar uang sebelum jatuh tempo. Namun, Bank BDNI dan lainnya tidak lagi dapat membayar lantaran sejumlah pinjaman itu tidak termasuk yang dilaporkan ke Bak Indonesia yang mendapatkan bantuan likuiditas Bank Indonesia.
Pada 26 Januari 1998 Pemerintah Indonesia mengeluarkan Surat keputusan penting berupa Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang jaminan atas kewajiban pembayaran bank umum. Keputusan ini untuk mengatasi krisis kepercayaan terhadap perbankan akibat likuidasi bank pada 1997.
Utang kepada Bank Bali oleh tiga bank itu tidak termasuk didaftarkan untuk mendapatkan penggantian pembayaran. Akibatnya, pemilik bank Rudy Ramli meminta tolong kepada Direktur PT Era Giat Prima (EGP) Setya Novanto, untuk membantu melakukan penagihan kepada tiga bank tersebut.
Posisi Setya Novanto saat itu sebagai politikus dan anggota DPR dari Partai Golkar yang cukup erat atau punya hubungan baik dengan Presiden BJ Habibie. Sehingga, oleh pemilik Bank Bali dinilai dapat menyelesaikan permasalahan yang kala itu relatif cukup ruwet. Akhirnya disepakati pada 11 Januari 1999, Bank Bali dan PT Era Giat Prima (EGP) meneken perjanjian pengalihan (cessie) tagihan piutang ke BDNI dan BUN.
Jumlah seluruh tagihan piutang Bank Bali oleh Temponews.com, disebut sebesar Rp798,09 miliar. Disepakati paling lambat tiga bulan kemudian tagihan itu sudah diserahkan ke Bank Bali. Total penjualan cessie dari tiga bank itu senilai Rp 3 triliun, dan pada saat itu dengan pengaruh politik dari Dirt PT EGP, Wakil Ketua BPPN Pande Lubis mengirim surat ke Bank Bali yang pokok intinya ingin memverifikasi jumlah tagihan ke BDNI, BUN dan Bank Bira yang saat itu telah dilikuidasi oleh pemerintah.
Atas kerjasama yang baik antara Dirut EGP yang juga politisi partai Golkar Setya Novanto, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan Bank Indonesia (BI) dapat menyelesaikan cessie itu meski pun terjadi kecurigaan bahwa sesungguhnyia jumlah tiga utang ketiga bank itu tidak sampai Rp3 triliun, melainkan hanya sekitar Rp798,09 miliar. Sementara pemerintah telah qq BI telah mengucurkan bantuan ke Bank Bali lewat pasar (money market) sebesar Rp904 miliar.
Artinya, semestinya pemerintah qq BPPN tidak perlu lagi membayar ke EGP. Namun tagihan atas cessie tetap dibayar sehingga terkuak adanya “kongkalingkong” atau kolosi antara EGP, BPPN dan BI yang dikenal istilah skandal adanya perampokan uang negara lewat mekanisme cessie.
Buntut peristiwa itu, Gubernur BI dan pejabat BPPN dan Dirut EGP berurusan dengan aparat hukum hingga Syahril Sabrin sebagai Gubernur BI 1998 -2003 bersama Joko Tjandra, sebagai pemilik Bank Bali, oleh Mahkamah Agung, dikenakan hukuman 2 (dua) tahun penjara.
Diluar EGP, Badan Penyehatan Perbankan Nasional juga telah banyak membeli cessie akibat krisis 1998. Pembelian itu bagian dari solusi kepastian hukum, keadilan dan asas kemanfaataan agar roda ekonomi nasional tetap tumbuh, kreditur tetap mendapatkan pengembalian meski pun jumlahnya kurang optimal. Sementara debitur atau (cecus) untuk tidak mudah menyimpangi perjanjian yang telah disepakati yakni melakukan pembayaran utangnya secara tepat waktu guna menghindari terjadinya dispute antara cedent, (kreditor awal) cessionaris (pembeli cessie) dan cesssus sebagai debitur.
Penerapan Hukum Nasional
Dasar hukum melakukan cessie sesungguhnya sudah ada dalam Undang-undang Kitab Hukum Perdata (KUHPer) yang diperlakukan di Indonesia sejak tahun 1847. Pemerintah Belanda kala itu menerapkan KUHPerdata untuk mempermudah menyelesaikan kasus yang timbul di daerah jajahannya.
Oleh Covan, pengamat hukum saat itu menyebutkan, alasan diterapkannya KUH Perdata di Hindia Belanda antara lain di hukum adat yang tak tertulis akan menimbulkan ketidakpastian, dan kedua, penerapan berbagai hukum untuk berbagai ragam golongan penduduk akan melahirkan situasi yang membingungkan oleh warga. Dengan demikian, suka atau tidak KUHPerdata harus diterima sebagai sarana menyelesaikan sengketa.
Pasal 613 KUHPerdata menyebut, “Penyerahan piutang-piutang atas nama dan barang-barang lain yang tidak bertubuh, dilakukan dengan jalan membuat akta otentik atau di bawah tangan yang melimpahkan hak-hak atas barang-barang itu kepada orang lain. Penyerahan ini tidak ada akibatnya bagi yang berutang sebelum penyerahan itu diberitahukan kepadanya atau disetujuinya secara tertulis atau diakuinya penyerahan surat-surat utang atas tunjuk dilakukan dengan memberikannya, penyerahan surat utang atas perintah dilakukan dengan memberikannya bersama endorsmen bersama surat itu.”
Para pembuat Undang-undang itu sudah jauh-jauh hari dapat memprediksi bahwa akan ada kemungkinan terjadi kemacetan soal pinjam meminjam. Oleh karenanya, Pasal 613 KUHPer sebagai jendela atau pintu masuk mencari penyeleaiannya.
Nah, hal itu terjadi dengan seringnya terjadi dispute antara kreditur dan debetur utamanya pemegang cessionaris, karena debetur belum merasa menyetujui meski pun sudah mendapatkan surat pemberitahuan akan adanya cessie baik surat pemberitahuan dari cedent, mau pun dari cessionaris.
Cessus menafsirkan Pasal 613 KUHPer untuk pengalihan utang diperlukan persetujuan tertulis. Sisi lain, persetujuan tertulis atau pengakuan tidak diperlukan lagi karena pasal itu menyebut (atau) bukan (dan). Jika menggunakan dan, maka wajib cessionaris meminta surat pengakuan atau persetujuan dari debitur, namun jika frasnya (atau) maka dapat diabaikan untuk memastikan kreditur tidak merugi dan mendekati nilai keadilan.
Dalam Pasal 37 A poin (f) Undang-undang No 10 Tahun 1998 sebagai penyempurnaan dari UU No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan lebih menegaskan; Dalam cessie, tidak diperlukan persetujuan dari debitur, tetapi cessionais cukup memberitahukan hal itu kepada debitur bahwa utangnya sudah beralih kepada pihak ketiga sesuai pokok surat yang diberitahukan oleh kreditur awal.
Pemerintah membentuk badan khusus yang bersifat sementara dalam rangka penyehatan Perbankan Nasional atau lembaga yang dibuat adalah BPPN. Badan khusus, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melakukan program penyehatan terhadap bank-bank yang ditetapkan dan diserahkan kepada badan dimaksud.
Poin f menyebutkan, “…menjual atau mengalihkan tagihan bank dan atau menyerahkan pengelolaannya kepada pihak lain, tanpa memerlukan persetujuan Nasabah Debitur.” Dengan demikian, Pasal dari UU Perbankan itu meneguhkan bahwa pasal 613 KUHPer diperjelas lagi dengan UU Perbankan Pasal 37 A poin (f).
Sementara Putusan mahkamah Agung No 515/PDT/2016/PT DKI meneguhkan kembali bahwa cessie merupakan bentuk jual beli utang secara perdata yang oleh hukum positif di Indonesia diakui dan dijalankan. Putusan itu berisi uraian sengketa antara Jimmy Santoso yang mengugat Departemen Keuangan Cq Dirjen Pengelolaan Kekayaan Uang Negara, NISP Sekuritas, dan tergugat lainya.
Penggugat mempersoalkan Sertikat Hak Guna bangunan Nomor 469, tertanggal 4 Mei tahun 1995 dan Sertifikat HGB No 470 Tahun 1995 yang berada di wilayah Cikarang adalah jaminan dari Bank BDNI yang telah dilekatkan sebagai hak tanggungan dengan objek nilai Rp231.000.000,-
Terkait asset yang dipersengketakan, ditemukan fakta bahwa pasca tahun 1998 Indonesia mengalami krisis ekonomi dan perbankan, PT BDNI yang memegang asset milik debitur dilakukan penjualan secara cessie kepada BPPN. Dan sesuai dengan fungsinya, keberadaan lembaga BPPN antara lain untuk melakukan pengembalian uang milik negara yang telah dikucurkan sebelumnya dan melakukan pemberesan asset bermasalah.
Oleh karennya, beralasan jika BDNI melakukan penjualan boreg yang telah dipegang, dikuasai dan dilekatkan sebagai hak tanggungan secara cessie ke BPPN. Atas penjualan itu debitor melakukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri, namun Majelis Hakim PN Jakarta Pusat memutuskan dengan Nomor 375/Pdt.G/2014/JK.Pst. tertangal 26 Mei 2015 memutuskan dengan amar putusannya Menolak Gugatan Penggugat seluruhnya, dan menghukum penggugat untuk membayar biaya perkara yang timbul sebesar Rp2.351.000,-.
Putusan itulah yang akhirnya dikuatkan oleh Mahkamah Agung dengan tertanggal 29 September 2016 dengan amar putusannya, menerima permohonan banding penggugat dan memutuskan menguatkan Putusan PN Jakarta Pusat 26 Mei 2015 dengan nomor putusan 375/Pdt.G/2014/PN.JktPst dan menghukum penggugat untuk membayar biaya sebesar Rp150 ribu.
Dengan demikian, dapat disimpulkan, perselisihan soal Cessie dalam hukum nasional, masih tetap berpegang pada hukum positif yakni Pasal 613 KUHPerdata dan Pasal 37 A poin f UU No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Selain juga adanya Putusan Mahkamah Agung yang dapat dijadikan pijakan sebagai yurisprodensi untuk memperkuat menyelesaikan dispute dalam kasus cessie.
Hukum positif masih dinilai saat dijadikan pijakan hukum untuk menuju kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Itulah perlunya para kreditur dan debitur berpegang pada perjanjian pokok untuk saling menepati janjinya agar dispute lewat cessie dapat terhindarkan.
** Penulis saat ini sebagai Peneliti Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, dan pengajar di STIH IBLAM Jakarta.