Oleh Endro Yuwanto, Wartawan Republika
IMBC NEWS, Jakarta | Jika ingin melihat wajah persepakbolaan Indonesia dalam 30 tahun terakhir, maka lihat saja pencapaian tim nasional (timnas) Indonesia di gelaran sepak bola level Asia Tenggara, Piala AFF. Indonesia sudah berpartisipasi sebanyak 14 kali di ajang Piala AFF sejak pertama kali digelar pada 1996 silam dan tak pernah sekalipun juara.
Tim Merah Putih yang terus berganti dari generasi ke generasi beberapa kali mentok di posisi runner-up. Indonesia menjadi runner-up di Piala AFF sebanyak enam kali, yakni di tahun 2000, 2002, 2004, 2010, 2016, dan 2020.
Piala AFF 2022 yang diharapkan menjadi momen memutus kegagalan atau lebih tepat dibilang ‘kutukan’? Ternyata setali tiga uang. Skuad asuhan Shin Tae-yong tampil mengecewakan–kalimat yang seringkali terulang jika membicarakan timnas–sehingga disingkirkan Vietnam 0-2 di semifinal, Senin (9/1/2023).
Tak hanya di Piala AFF, wajah kegagalan sepak bola Indonesia pun bisa terlihat di gelaran level Asia Tenggara lainnya, SEA Games. Terakhir kali timnas Indonesia merasakan manisnya gelar juara di level Asia Tenggara –bukan di Piala AFF tentunya–adalah pada SEA Games 1991. Sudah 30 tahun berlalu, tapi timnas Indonesia masih membiarkan lemari trofinya kosong dan berdebu. Jadi, please, jangan muluk-muluk mengharapkan timnas Indonesia bersaing di level Asia, apalagi di Piala Dunia!
Mungkinkah kegagalan timnas Indonesia meraih juara level Asia Tenggara lantaran faktor pelatih? Sepertinya banyak yang tak akan sependapat jika faktor pelatih menjadi biang kegagalan skuad Garuda. Nama-nama juru taktik semacam Shin Tae-yong dari Korea Selatan, Ivan Kolev asal Bulgaria, Peter Withe dari Inggris, Wim Rijsbergen asal Belanda, Luis Milla asal Spanyol, hingga mendiang Alfred Riedl dari Austria, bukanlah pelatih ‘kacangan’ di level internasional. Para arsitek tim itu sudah pernah mencicipi gelar juara di luar sana. Tapi entah mengapa semua prestasi mereka seakan sirna kala membesut skuad Garuda.
Mungkinkah kegagalan timnas Indonesia lantaran faktor pemainnya itu sendiri? Pertanyaan ini bisa menjadi perdebatan tersendiri. Jarang yang menyangkal Indonesia punya bibit dan talenta bagus di sepak bola. Pesepak bola Indonesia di level junior pun kerap meraih prestasi membanggakan. Tapi, sudah menjadi rahasia umum, saat memasuki level senior, para pesepak bola berbakat itu seperti kehilangan kemampuan terbaiknya.
Beberapa tahun terakhir, sejumlah pesepak bola Indonesia juga merumput di luar negeri bahkan mampu menembus kompetisi Eropa, meski bukan di liga-liga top Benua Biru. Beberapa tahun terakhir, jika ditotal timnas Indonesia juga sudah diperkuat puluhan pemain naturalisasi dari berbagai negara yang punya tradisi kuat sepak bola. Namun, baik pemain Indonesia yang merumput di luar negeri ataupun pemain naturalisasi tak jua menjamin tim Merah Putih meraih trofi. Semua kemampuan dan ketenaran para pemain itu di Tanah Air sebatas heboh di media massa dan media sosial, bukan di atas lapangan.
Mungkinkah kegagalan timnas Indonesia lantaran buruknya kompetisi? Bisa jadi. Dari tahun ke tahun karut marut penyelenggaraan kompetisi sepak bola Indonesia nyaris selalu terjadi. Yang terbaru tentu saja tragedi Kanjuruhan 1 Oktober 2022 lalu yang mengorbankan ratusan nyawa manusia.
Kerusuhan suporter pun kerap pecah dalam 30 tahun terakhir ini. Belum lagi kasus dualisme kompetisi liga yang terjadi beberapa tahun lalu sehingga Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA) pernah membekukan sepak bola Indonesia di kancah internasional pada 2015. Ini juga termasuk kasus mafia sepak bola dan suap yang beberapa kali terendus media dalam kurun 30 tahun terakhir. Miris memang, padahal sudah banyak yang menyatakan, muara kompetisi sepak bola yang sehat adalah timnas yang kuat.
Mungkinkah kegagalan timnas Indonesia karena induk organisasi sepak bola (PSSI)-nya tak becus menjalankan amanat? Soal ini sudah lama mencuat. Ada saja kontroversi alih-alih prestasi yang dihadirkan PSSI mulai era Azwar Anas, Nurdin Halid, Djohar Arifin Husin, La Nyalla Mattalitti, Edy Rahmayadi, Joko Driyono, hingga Mochamad Iriawan.
Lantas bagaimana wajah sepak bola Indonesia dalam 30 tahun terakhir? Sepertinya ini pertanyaan yang tak memerlukan jawaban.
Siap-siap saja penikmat sepak bola di tanah air mendengarkan kata-kata evaluasi, evaluasi, dan evaluasi. Mungkin hingga 30 tahun ke depan pun kata-kata itu akan terus muncul dan terngiang. Jika tak ingin lagi kecewa, maka jangan pernah bermimpi atau terlalu berharap timnas Indonesia berprestasi atau meraih trofi. Ingat saja terus, pencapaian terbaik timnas Indonesia adalah: evaluasi! (Sumber: Republika)